Harga Pangan Melambung, Picu Inflasi Manado

Manado, SULUTREVIEW – Melambungnya harga pangan pada Februari 2018, memberikan kontribusi pada inflasi Kota Manado yang mencatat angka 0,56% (mtm).

Sebagaimana data yang dirilis Badan Pusat Statistik, bahwa inflasi tahun kalender sebesar 1,05% (year todate). Sementara inflasi tahunan sebesar 1,22% (year on year).

Dengan demikian secara bulanan, inflasi Sulut yang diwakili Manado pada Februari terbilang tinggi. Jika dibandingkan dengan realisasi inflasi Sulut bulan sebelumnya tercatat 0,49% mtm (month to month), rata-rata inflasi Sulut Februari di 5 tahun terakhir (0,11% mtm). Sementara inflasi nasional Februari 0,17% (mtm). Dengan demikian Manado tertinggi dari seluruh provinsi di Pulau Sulawesi.

“Namun, secara tahunan, inflasi Sulut pada Februari tercatat paling rendah, baik dibandingkan dengan inflasi Sulut bulan sebelumnya (1,83% yoy), maupun rata-rata inflasi Sulut Februari 5 tahun terakhir (5,43% yoy). Bahkan paling rendah dari seluruh provinsi di Pulau Sulawesi,” ungkap Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulut, Soekowardojo Kamis (1/2/2018).

Lanjut katanya, berdasar komponennya, inflasi terjadi pada kelompok bahan makanan bergejolak atau Volatile Food (VF) dan kelompok inti atau core. Sedangkan kelompok tarif yang diatur pemerintah atau Administered Prices (AP) tercatat mengalami deflasi.

Inflasi bulanan Februari 2018 terutama disebabkan oleh inflasi kelompok VF. Inflasi kelompok VF tercatat sebesar 3,14% (mtm) yang terutama disumbang oleh komoditas tomat sayur, yang kembali menjadi penyumbang utama seperti di bulan sebelumnya. Rata-rata harga tomat pada Februari sebesar Rp10.100/kg, naik dari Rp8.600/kg pada bulan sebelumnya.

“Selain tomat, komoditas lain yang memberikan sumbangan inflasi dari kelompok VF yaitu daun bawang, cabai rawit, cakalang, bawang putih, daging ayam ras, bawang merah dan cabai merah,” sebut Soekowardojo.

Penyebab tingginya inflasi kelompok VF, beber Soekowardojo, yaitu curah hujan yang tinggi pada Februari sebagaimana perkiraan BMKG Sulut. “Tingginya curah hujan menyebabkan produksi kurang. Sebab lahan terendam banjir. Ditambah serangan hama (seperti terjadi pada daun bawang) dan banyak nelayan tidak melaut, serta terganggunya distribusi akibat putusnya jalan Trans Sulawesi pada beberapa waktu lalu,” urainya.

Masih dari kelompok VF, fenomena kenaikan harga beras secara nasional tidak terjadi di Sulut. Harga beras di Sulut Februari tercatat relatif stabil dibandingkan bulan sebelumnya, berbeda dari harga beras nasional yang tercatat inflasi. Hal tersebut tidak terlepas dari peran TPID dan pemangku kepentingan di Sulut, khususnya peran Bulog yang melakukan pasar murah melalui penjualan beras medium dengan harga Rp9.350/kg, di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET Rp9.450/kg) selama bulan Januari.

Kelompok core juga mencatat inflasi, namun dengan level yang relatif kecil. Kelompok core mencatat inflasi sebesar 0,08% (mtm) dengan komoditas penyumbang inflasi seperti tindarung, pasir, jeruk nipis, emas perhiasan dan teh. Kenaikan harga tindarung disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di tengah tingginya permintaan tindarung seiring dengan maraknya bisnis restoran ikan bakar.

Sementara itu, deflasi kelompok AP menahan laju inflasi lebih tinggi. Berbeda dari 2 kelompok lainnya, kelompok AP mencatat deflasi yang cukup dalam pada Februari 2018 sebesar 0,46% (mtm).

“Tarif angkutan udara menjadi penyumbang utama deflasi kelompok AP. Turunnya tarif angkutan udara terjadi seiring dengan kembali normalnya mobilitas masyarakat pada Februari setelah mengalami puncaknya pada Desember dan Januari. Di tengah deflasi kelompok AP, satu-satunya komoditas kelompok AP yang mencatat inflasi yaitu bensin, sebagai dampak kenaikan harga Pertalite sebesar Rp100/liter. Namun, tingkat inflasi bensin relatif kecil,’ beber Soekowardojo.

Diperkirakan pada Maret 2018, tekanan inflasi akan mengalami perlambatan, sejalan dengan meningkatnya pasokan bahan makanan (khususnya Barito). Pada tanggal 1 Maret, berdasarkan hasil Survei Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia Provinsi Sulut, harga tomat sudah turun menjadi Rp8.000/kg.

Diketahui, sepanjang tahun 2018, Bank Indonesia Provinsi Sulut memperkirakan inflasi Sulut tahun 2018 akan berada pada rentang 2,5±1% (yoy).

“Terkendalinya inflasi 2018 didukung oleh kebijakan Pemerintah Pusat tidak menaikkan tarif listrik dan BBM hingga 2019, serta didukung juga oleh upaya dan koordinasi Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia melalui wadah TPID untuk terus memperkuat pengendalian inflasi,” ujarnya.

Diketahui, upaya terbaru yang dilakukan yaitu pelaksanaan rapat koordinasi penyusunan program kerja TPID 2018, yang menghasilkan beberapa usulan rencana program kerja yaitu: pertama, peningkatan kapasitas petani khususnya petani beras dan barito. Kedua, menyukseskan Gerakan Rica Rumah (urban farming), tiga pembentukan Early Warning System terkait perubahan kondisi cuaca bekerjasama dengan BMKG, empat sosialisasi intensif terkait pengendalian konsumsi bahan segar ke olahan, lima peningkatan kualitas dan aksesibilitas informasi harga pangan, enam review penerapan HET di pasar lokal, tujuh peningkatan efektivitas peran penyuluh pertanian pangan strategis, delapan peningkatan alokasi APBD yang berfokus.(hilda)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.