Manado, SULUTREVIEW – Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) memberikan perhatian serius terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal itu dibuktikan dengan pembahasan dan diskusi yang melibatkan para pemangku kepentingan pada Kamis (22/3/2018) baru-baru ini.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulut, Soekowardojo pada giat Forum Diskusi Ekonomi, Keuangan dan Fiskal Daerah (Fordisefda) yang bertajuk Asesmen dan Outlook Sulawesi Utara 2018, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonoml nasional 2017 yang tercatat sebesar 5,07% merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Beberapa perkembangan positif pada triwulan IV 2017, baik dari sisi investasi, ekspor, maupun struktur Iapangan usaha, diperkirakan dapat menjadi basis berlanjutnya proses pemulihan ekonomi di tahun berikutnya. Ke depan Bank Indonesra memprediksikan pertumbuhan ekonomi 2018 berada pada krsaran 5,1-5,5%.
“Sejalan dengan momentum pemulihan ekonomi nasional dan global, pertumbuhan ekonoml Sulut juga terus meningkat terllhat dan indikator makroekonominya. Di mana pada tahun 2017, ekonomi Sulut tumbuh 6,32% dan merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhlr. Inflasi Sulut bulan Desember 2017 terkendali pada level yang relatlf rendah, tercatat sebesar 2,44% (yoy). Memasukl Februari 2018, inflasi Sulut masih terjaga di level yang rendah, yakni 0.56% (mm) atau 1.22% (yoy) ungkap Soekowardojo sambil menambahkan bahwa tomat sayur, daun bawang, dan cabe masih menjadi komoditas penyumbang inflasi sejak bulan Januari 2018. “Hal ini harus terus dicermati agar inflasi terjaga,” tukasnya.
Ekonomi Sulut 2018, lanjut Soekowardojo, diperkirakan tumbuh 6,2- 6.6%, meningkat dibandingkan tahun 2017, sebesar 6,32%. Namun peningkatan tersebut diiringi pula dengan sejumlah tantangan, seperti rencana pengetatan kebijakan moneter di negara maju, kebijakan dagang AS, dan risiko kenaikan harga minyak di tahun 2018 sebagai dampak kesepakatan dan negara-negara penghasil minyak. Tantangan dalam negara timbul dan konsumsi rumah tangga dan intermediasi perbankan.
“Secara regional, terdapat tantangan dI sektor infrastruktur, sepertl pembebasan lahan dan pasokan listrik seiring dengan naiknya kebutuhan daya listrik masyarakat pertumbuhan ekonoml Sulut masih berada di bawah level potensialnya akibat ketergatungan Sulut akan sektor ekspor berupa bahan mentah dan setengah jadi,” tukasnya.
Tak itu saja, dari sisi potensi pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) di Sulut, Soekowardojo menilai cenderung stagnan. Hal ini diakibatkan oleh kerergantungan pada komoditas bahan mentah. Dalam artian belum mengupayakan diversifikasi industri pengolahan dengan skala besar. Sehingga, ketika pasokan komoditas pertanian cenderung menurun, pertumbuhan industri pengolahan ikut mengalaml stagnasi. Sehingga diperlukan beberapa fokus pengembangan dalam meningkatkan pembangunan ekonoml daerah, diantaranya adalah hilirisasi industri dan inovasi untuk meningkatkan produktIvitas serta mendorong produksi VCO yang merupakan produk turunan kelapa yang bernilai jual paling tinggi,” beber Soekowardojo.
“Hilirisasi industri diharapkan mampu meningkatkan gairah sektor industri pengolahan di Sulut,” ujarnya.
Sementara itu, terkait tingkat partisipasi angkatan kerja Sulut tercatat berada di bawah rata-rata nasional Berdasarkan data Badan Pusat Slabstik (BPS) hampir 5 dari 10 tenaga kerja di Sulut belum memiliki keahlian yang memenuhi standar pekejaannya, terutama di sektor-sektor potensial Sulut. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sulut hingga ke level polensialnya.
Karenanya, untuk mendorong pertumbuhan ekonoml Sulut hingga ke level potensialnya, pemerintah perlu fokus pada pengembangan sumber-sumber ekonoml baru. Terutama dari sektor tersier atau jasa, serta optimalisasi pemanfaatan keunggulan geografis daerah akan menjadi suport potensi sumber daya alam yang melimpah.
Kepala Bidang Perekonomian dan SDA Provinsi Sulut, Franky Manumpil mengatakan bahwa Pemprov Sulut terus menggenjot industri pariwisata. Karena hal ini akan berdampak pada sektor pertanian, perikanan bahkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). “Kalau wisatawan yang masuk di Sulut banyak, maka semua sektor akan ikut terdongkrak. Demikian juga dengan infrastruktur terus kita dorong, sehingga dapat menarik investasi. Dan pastinya ini akan menjaga pertumbuhan ekonomi. Ditambah dengan membaiknya kualitas dan volume ekspor,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Perbendaharaan Nasional (DJPBN) Provinsi Sulut, Sulaymansyah dalam materi Fiskal Regional Tahun 2017 dan APBN 2018 di Sulut, menyampaikan bahwa sinergi reformasi kebijakan sektor ril fiskal dan moneter diperlukan dalam mendorong pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan melalui kebijakan fiskal harus dapat menjawab tantangan dan isu yang berkembang. Bahkan merespon dinamika perekonomian dalam rangka mendukung sasaran dan target pembangunan.
“Dengan reformasi kebijakan flskal (APBN), kualitas belanja membaik serta realokasi pada produk namun tingkat pendapatan masih relatif rendah,” ujarnya.
Masih kata Sulaymansyah terdapat beberapa tantangan pembangunan infrastruktur di wilayah Sulut, diataranya adalah kebutuhan pembiayaan yang cukup besar berkisar Rp 5.159 triliun, dengan komponen 50% APBN/APBD, 31% swasta yakni insentlf, penjaminam daya tarik investasi dan lainnya 19% BUMN. Berikut pembayaran yang bersumber dari APBN dan APBD agar lebih efektif dlperlukan koordinasi sinkronisasi sinergis dan harmonisasi antara pemeritah pusat dan provinsi kabupaten/kota.
“Pembangunan infrastruktur dan investasi akan meningkatkan impor barang modal 9 deficit current account melebar sehingga dapat mengganggu keseimbangan makro,” tukasnya.
Menariknya, realisasi pendapatan pajak Sulut tahun 2017, jelas Sulaymansyah masih belum mampu mencapai target. Bahkan mengalami penurunan nilai bila dibandingkan dengan tahun 2016. Di sisi lain, realisasi pendapatan PNBP mengalami tren peningkatan pada tahun 2017, pendapatan PNBP sebesar Rp1,1 triliun atau naik signifikan dibanding tahun 2016 yang hanya sebesar Rp776 miliar.
“Komponen pendapatan PNBP terbesar di Sulut adalah pendapatan jasa. Pendapatan Pendidikan dan Pendapatan BLU. Dari sisi APBD, tingkat ketergantungan pendapatan daerah seluruh pemda di Sulut terhadap dana transfer pemerintah pusat secara agregat tergolong tiggi dengan rata-rata porsi pada pendapatan APBD per 1ahun sebesar 82% dalam kurun waktu yang sama proporsi PAD dan lain-lain pendapatan yang sah tidak ada peningkatan signifikan,” tegasnya.
Relatlf rendahnya pendapatan pajak APBN dldukung oleh pernyataan Kepala Kanwil Dirjen Pajak Sulutenggo Malut, Agustin Vita Avantin yang menyebutkan bahwa pendapatan pajak di Sulut masih cukup rendah perkembangan rasio pajak terhadap PDRB di Provinsi Sulut pada tahun 2017 mencapai 4,49% atau mengalami penurunan dan tahun sebelumnya yang mencapal 4,74%.
“Diharapkan tax amnesty dapat berdampak positif terhadap penerimaan pajak di Sulut tahun 2018. Di sisi lain, sektor pertanian membawa kabar yang menggembirakan seiring meningkatnya kontnbusi pajak dan sektor tersebut sejak akhir tahun 2017,” ujarnya.
Pada kesempatan juga dibahas mengenai rekomendasi kepada pemerintah daerah, diantaranya adalah pembangunan pada infrastruktur dan sektor potensial serta regulasi yang komprehensif untuk mengoptimalisasi PAD dan industri pengolahan, pariwisata dan industri ritel.
Turut hadir, pejabat Forkopimda dan perbankan di wilayah Provinsi Sulut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsrat Dr Herman Karamoy yang dipandu MHA Ridhwan, PhD yang adalah Deputi Direktur Kantor Perwalnlan BI Sulut sebagai moderator.(hilda)