Jakarta, SULUTREVIEW
Juru bicara TIM 9, Viktus Murin menyatakan, Komposisi kepengurusan DPP Partai Golkar periode 2019-2024 sebagaimana yang telah diumumkan kepada publik, dinilai tidak mencerminkan sama sekali komitmen kebersamaan dan suasana rekonsiliasi yang telah dibuat oleh Airlangga Hartarto sebagai calon petahana ketua umum.
Tepatnya menjelang saat-saat terakhir pelaksanaan pembukaan Munas X pada tanggal 3 Desember 2019, dalam suatu pertemuan dengan pesaing terkuatnya Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang dimediasi dan disaksikan oleh Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Panjaitan, seorang kader senior Partai Golkar yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator dalam Kabinet Indonesia Maju.
Pasalnya, komitmen rekonsiliasi itu diantaranya adalah mengakomodir semua pendukung Bamsoet dalam kepengurusan DPP Partai Golkar.
“Inkonsistensi politik AH ini dengan demikian kami pandang telah mencemarkan kewibawaan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie dan citra Menko Luhut Binsar Panjaitan,” kata Viktus saat jumpa pers di Resto Sari Kuring, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Merujuk pada komposisi personalia kepengurusan DPP periode 2019-2024 hasil Munas X, maka sungguh sangat disesalkan sebab Airlangga dan rezim politiknya telah melakukan dusta politik dan atau kemunafikan politik, dengan hanya memasukkan “empat orang” dari hampir 100 orang tim inti pendukung Bamsoet dalam kompetisi pemilihan ketua umum pada Munas X.
“Rezim politik Airlangga melakukan pelanggaran konstitusi organisasi (AD/ART Partai Golkar) secara konsisten, bahkan cenderung mengangkangi secara vulgar perintah AD/ART mengenai rekruitmen kepengurusan DPP, sekaligus tidak mengindahkan prinsip-prinsip kriteria kompetensi dan persyaratan PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela),” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mencermati nama-nama personalia pengurus DPP Partai Golkar periode 2019-2024, terdapat oknum-oknum pengurus yang tidak memenuhi ketentuan AD/ART, tetapi didudukkan seenaknya bahkan dalam komposisi kepengurusan DPP.
“Ada diantara pengurus yang sebelumnya bahkan bukan kader Partai Golkar. Ada oknum pengurus yang sebelumnya telah meloncat menjadi pengurus partai politik lain, tetapi kini didudukkan seenaknya sebagai Pengurus Harian DPP,” sesalnya.
Selain itu, ia berpendapat ada pula oknum-oknum pengurus yang memiliki hubungan keluarga misalnya ayah-anak, kakak-adik, ipar-ponakan dan lain sebagainya.
Apalagi, kondisi ini berpotensi merusak tatanan Partai Golkar sebagai partai moderen dan demokratis, menjadi partai yang keropos fungsi dan perannya, akibat hantu politik nepotisme dan politik dinasti.
“Rezim politik Airlangga dengan demikian telah merusak psikologi kebersamaan dan keutuhan di lingkungan seluruh organisasi pendiri yakni SOKSI, Kosgoro, dan MKGR, sebab ketiga organisasi ini merupakan sumber utama rekruitmen kader dalam kepemimpinan partai,” ujarnya.
“Tetapi, pada kenyataannya, dalam komposisi kepengurusan DPP hasil Munas X Tahun 2019 ini, keberadaan kader-kader dari SOKSI, Kosgoro, dan MKGR tidak tergambar secara merata dan representatif dalam komposisi kepengurusan DPP. Sebaliknya, terkesan kuat, rekruitmen kepengurusan hanya didasarkan pada sentimen perkoncoan dan atau kronisme di antara elite-elite rezim politik AH,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan Airlangga dan rezim politiknya untuk sesegera mungkin memulihkan situasi keterbelahan di dalam tubuh Partai Golkar, sebagai dampak dari komposisi kepengurusan DPP periode 2019-2024.
Apalagi, pe mulihan situasi internal partai ini merupakan hal yang bijaksana dalam rangka merawat keutuhan organisasi Partai Golkar, sehingga dapat bekerja secara optimal demi mencapai kemenangan Partai Golkar pada Pemilu 2024.
“Mengingatkan seluruh slagorde dan atau keluarga besar Partai Golkar untuk berani mengkritisi ketidakberesan yang dilakukan oleh AH dan rezim politiknya, demi mencegah terjadinya perpecahan yang nyata dalam organisasi Partai Golkar. Sungguh sangat disayangkan bahwa Partai Golkar sebagai aset politik bangsa dalam menjalankan pembangunan nasional, pada akhirnya harus pecah atau terbelah akibat dari kesalahan fatal dan berulang-ulang dalam hal tata kelola organisasi,” tandasnya.(rizal)