Jakarta, SULUTREVIEW
Anggota MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno berharap pimpinan MPR mendatang harus bisa menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi dan mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun haluan negara.
“Tugas kita sampai tahun 2024 adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara minus kewenangan untuk memilih Presiden sebagai mandataris,” kata Hendrawan dalam dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Menjaga Politik Kebangsaan, Layakkah Semua Fraksi di Kursi Pimpinan MPR?” di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Diskusi ini juga menghadirkan narasumber anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrat H. Mulyadi dan pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Menurut Hendrawan, PDI Perjuangan bertekad untuk menjjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. “Dalam Rakernas PDIP perjuangan tanggal 19 Juni yang lalu, yang tertutup, kembali Ketum kami menegaskan, MPR harus menjadi lembaga tertinggi negara supaya dalam Undang-Undang Dasar negara kita ada struktur ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Selain itu, Hendrawan juga mengungkapkan pentingnya haluan negara. MPR sudah melakukan kajian soal haluan negara. Ketua MPR juga sudah mengumumkam pembentukan dua panitia ad hoc, yaitu PAH I mengenai haluan negara yang dipimpin oleh Ahmad Basarah dan PAH II tentang rekomendasi MPR yang dipimpin Rambe Kamarulzaman
“Oleh sebab itu, kita cari paket pimpinan MPR yang bertekad melakukan amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945,” tuturnya. Salah satu rekomendasi MPR periode lalu (2009 – 2014) adalah mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus melakukan langkah-langkah melakukan amandemen UUD.
Untuk jumlah pimpinan MPR, Hendrawan mengatakan sebaiknya mengikuti UU yang sudah ada, yaitu UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3. Dalam UU itu disebutkan Pimpinan MPR terdiri dari satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dalam satu paket. “Kita jalankan saja UU ini karena sudah jelas,” katanya
Sementara itu anggota MPR dari Partai Demokrat, Mulyadi mengatakan tidak ada formula dan ketentuan yang mengatur lima pimpinan mpr dari fraksi apa saja. Tidak ada yang baku siapa yang layak sebagai ketua MPR. Dia mencontohkan pada 2009 ketika Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, kursi pimpinan MPR diserahkan ke PDI Perjuangan, Almarhum Taufiq Kiemas. Penyerahan kursi ketua MPR itu merupakan bagian dari distribusi kekuasaan. “Sebaiknya yang sudah mendapat kursi di DPR, tidak lagi mendapat kursi di MPR. Pimpinan MPR diprioritaskan pada partai yang belum mendapat kursi di pimpinan DPR. Ini bagian dari distribusi kekuasaan,” kata Mulyadi.
Soal layak atau tidak layak semua fraksi mendapat kursi pimpinan MPR, Mulyadi menilai pemilihan pimpinan lembaga dewan, termasuk MPR, adalah persoalan politik terkait dengan keinginan-keinginan partai. Sehingga terjadi negosiasi-negosiasi di antara partai supaya tidak terjadi kegaduhan. “Dalam hal ini, Partai Demokrat mengalir saja. Kita lihat situasi dan kondisi atau pandangan fraksi nanti,” ujarnya.
Narasumber lain pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat pemilihan pimpinan MPR bukanlah persoalan hukum melainkan soal politik. Untuk menjaga atmosfir kebangsaan dan kehidupan bernegara, Margarito mengatakan DPR dipimpin oleh ketua dari kalangan nasionalis, sedangkan MPR dipimpin oleh ketua dari kalangan agama. “Kalau ketua DPR dari kelompok nasionalis, maka masuk akal jika ketua MPR dari kelompok agama,” katanya.
Kombinasi itu, menurut Margarito, sesuai dengan keinginan Bung Karno. Jika kedua kekuatan politik itu, nasionalis dan agama, bisa rukun maka situasi kebangsaan juga adem. “Partai berazaskan Agama perlu dipertimbangkan dalam rangka memastikan atmosif kebangsaan mewakili kekuatan besar nasionalis dan kekuatan agama. Layak atau tidak layak bukan soal hukum tapi soal politik, yaitu persoalan integrasi bangsa, kesatuan dan kekokohan bangsa,” katanya.(rizal)