Manado, SULUTREVIEW – Sektor pertanian Sulawesi Utara (Sulut) pada triwulan II 2017, cenderung melambat. Hal ini turut mempengaruhi volume ekspor yang sejauh ini hanya mengandalkan satu komoditas, yakni coconut oil.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulut, Soekowardojo menjelaskan pertanian daerah ini relatif stagnan dan cenderung menurun. “Turunnya sektor pertanian disebabkan oleh berkurangnya produksi kelaoa dan penerimaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain el-nino dan rendahnya produktivitas,” ungkapnya baru-baru ini.
Memang dari sisi produksi, kelapa Sulut selama 5 tahun turun dengan rata-rata -0,81% per tahun. Akibatnya turut berpengaruh pada kesejahteraan petani. “Masalah krusial lainnya adalah benih yang tidak tersertifikasi, tanaman yang rata-rata sudah tua, pembagian pupuk yang tidak dimanfaatkan. Kemudian diikuti dengan alih fungsi lahan tidak berlangsungnya peremajaan,” sebut Soekowardojo.
Disamping itu, modal kredit pemerintah dan swasta yang terbatas serta tidak menjangkau petani juga berpengaruh pada produktivitas. “Olahan produksi ekspor masih terkendala peralatan. Rata-rata masih tradisional sehingga kadar air masih tinggi. Ditambah lagi skill petani yang rendah dan tidak adanya kelembagaan maupun kemitraan semakin memperparah kondisi sektor pertanian,” kata Soekowardojo.
Ke depan sektor pertanian diharapkan dapat mengalami pertumbuhan. Karenanya perlu keseriusan semua pihak sehingga ada solusi. “Perlu diseriusi karena hal ini juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Sulur,” tukasnya.
Diketahui, pertumbuhan ekonomi Sulut tercatat sebesar 5,80 % secara year on year (yoy) atau mengalami penurunan sebesar 0,,63% basis poin dari 6,43% sebelumnya. Namun demikian BI memperkirakan pertumbuhan bergerak stabil.(hilda)