Manado, SULUTREVIEW
Kondisi perekonomian Indonesia secara umum cukup baik dan kuat. Hal itu dapat dilihat dari tekanan pada stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah yang lebih berasal dari meningkatnya keketatan likuiditas dan risiko global karena perubahan kebijakan di Amerika Serikat (AS).
Pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semakin memperkuat koordinasi dan
implementasi bauran kebijakan, demi menjaga stabilitas ekonomi dan kelanjutan pembangunan.
Di mana penguatan koordinasi kebijakan diarahkan untuk memprioritaskan stabilitas jangka pendek dengan tetap mendorong pada pertumbuhan jangka menengah.
Dikatakan Kepala Perwakilan BI Provinsi Sulut, Soekowardojo, kondisi perekonomian Indonesia cukup baik dan Kuat, pengukurnya dari pertumbuhan ekonomi yaang mencapai 5,06% pada triwulan I 2018, sebagaimana hasil rapat dewan gubernur BI, baru-baru ini.
Selanjutnya, inflasi pada April 2018 tercatat rendah, yaitu 3,41% (yoy), dan diperkirakan tetap rendah sesuai kisaran sasaran 3,5+1% pada akhir 2018. Defisit transaksi berjalan,
sesuai pola musimannya, meningkat pada triwulan I 2018 menjadi 2,1% dari PDB, tetapi masih lebih rendah dibandingkan periode triwulan 1 tahun 2013 saat Taper Tantrum terjadi sebesar 2,61% dari PDB.
Untuk defisit transaksi berjalan diperkirakan akan terjaga di bawah 2,5% dari PDB untuk tahun 2018 sehingga masih di bawah batas yang aman yaitu tidak melebihi 3% dari PDB. Berikut cadangan devisa lebih dari cukup untuk pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah, maupun untuk mengantisipasi kemungkinan pembalikan aliran modal asing ke luar.
Stabilitas sistem keuangan juga tetap terjaga di tengah intermediasi perbankan yang terus membaik. Sementara itu, APBN menunjukkan implementasi yang sangat sehat.
Pada akhir April 2018, penerimaan perpajakan tumbuh sekitar 14,9%, dengan PPN yang tumbuh 14,1%, PPh Badan tumbuh 23,6%, dan pertumbuhan pajak yang kuat terjadi secara luas di berbagai sektor yang menggambarkan peningkatan aktivitas perekonomian serta kesehatan dunia usaha. Defisit APBN sebesar 0,37% dari PDB dan keseimbangan primer mencatatkan surplus sebesar Rp24,2 triliun yang mencerminkan makin sehatnya kondisi APBN dan terjaganya kesinambungan fiskal.
Fundamental ekonomi seperti ini dipahami dunia internasional (termasuk para investor Indonesia) sebagai kondisi yang baik. Indonesia dipandang memiliki prospek ekonomi yang baik di masa depan.
Lebih jauh, berkaitan dengan stabilitas sektor jasa keuangan dan kondisi likuiditas di pasar keuangan Indonesia yang masih dalam kondisi terjaga.
Permodalan dan likuiditas LJK masih sangat memadai, dengan CAR perbankan sebesar 22,38% serta RBC asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 310% dan 454%, serta excess reserve perbankan mencapai Rp618 triliun. Di sisi intermediasi, sampai dengan April 2018, kinerja sektor jasa keuangan masih tumbuh positif.
Kredit perbankan dan piutang pembiayaan tumbuh masing-masing sebesar 8,94% yoy dan 6,36% yoy. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,06% yoy.
Premi asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi tumbuh tinggi masing-masing sebesar 38,44% yoy dan 18,61% yoy. Hingga 21 Mei 2018, penghimpunan dana di pasar modal telah mencapai Rp 61 triliun dengan tambahan emiten baru tercatat sebanyak 16 perusahaan,
lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu. Telah dalam pipeline, penawaran umum akan dilakukan oleh 58 perusahaan dengan nilai indikatif sebesar Rp66,35 triliun. Total dana kelolaan investasi (reksadana) meningkat dan per April 2018 telah mencapai Rp739,71 triliun.
Sementara itu, dari sisi risiko, risiko kredit dan risiko pasar masih dalam level yang manageable. Rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan tercatat sebesar 2,79% dan rasio Non-Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan tercatat sebesar 3,01%.
Tak itu saja, cakupan Penjaminan LPS terhadap DPK mencapai 99,9% (nasabah) dan 52,15% (nominal) yang menunjukkan kepercayaan dan keamanan masyarakat terhadap system perbankan nasional cukup baik.
Lebih jauh, tekanan terhadap stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah lebih karena perubahan kebijakan di AS yang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya inflasi di AS akan mendorong peningkatan suku bunga the Fed, yang oleh sebagian pelaku pasar keuangan diperkirakan dapat lebih agresif menjadi 4 kali kenaikan dalam tahun ini.
Sementara itu, penurunan pajak dan ekspansi pengeluaran fiskal Pemerintah AS akan berdampak pada peningkatan defisit fiskalnya yang diperkirakan akan mencapai sekitar 4% dari PDB tahun ini dan 5% tahun 2019.
Kedua perubahan kebijakan AS tersebut telah memicu secara cepat kenaikan yield US Treasury Bond, seperti untuk tenor 10 tahun hingga sempat mencapai 3,1%, dan penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Ketidakpastian global juga meningkat sehubungan dengan potensi perang dagang antara AS dan Tiongkok, serta beberapa ketegangan geopolitik regional.
Berbagai faktor global tersebut telah memicu pembalikan modal asing (capital outflow) dan memberikan tekanan pada pasar keuangan di negara maju dan EMEs, termasuk Indonesia, baik penurunan harga saham, meningkatnya
yield obligasi, maupun melemahnya nilai tukar terhadap dolar AS.(ist/*)