Manado, SULUTREVIEW – Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) di 2017 menunjukkan tren kian menguat. Hal itu ditandai dengan indikator pencapaian yang cukup memuaskan.
Meski sempat mengalami tren perlambatan, namun pertumbuhan ekonomi Sulut mulai rebound pada 2016 dan berlanjut hingga triwulan III 2017, sebesar 6,49%. Penguatan ini didorong strategi pemerintah dalam mempercepat penyaluran belanja, dan kinerja ekspor serta investasi.
Dijelaskan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulut, Soekowardojo, sesuai perkembangan, pertumbuhan ekonomi ditandai dengan tren inflasi yang juga semakin membaik.
“Pada November 2017, tercatat deflasi sebesar 0,09% (mtm) yang didorong oleh penurunan harga kelompok administered prices serta volatile food. Berikut meredanya tekanan harga pada kelompok inti,” kata Soekowardojo pada pertemuan tahunan Bank Indonesia (BI) 2017 dengan tema ‘Memperkuat Momentum’ yang dilaksanakan di Four Poins, Kamis (14/12/2017).
Lanjut kata Soekowardojo, perbaikan juga terjadi pada indikator perekonomian yang mencakup kiinerja perbankan. Itu tercermin dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dan kredit yang tumbuh meningkat dengan penurunan NPL pada triwulan III 2017. Demikian juga dengan realisasi Penanaman Modal Asing yang mencapai $350 juta dan Penanaman Modal Dalam Negeri yang mencapai Rp1,4 triliun hingga Oktober 2017.
“Kinerja ekspor yang telah mencapai $738 juta maupun jumlah wisatawan mancanegara dengan capaian 56.596 orang hingga September 2017 juga menjadi indikatornya jelas Soekowardojo.
Tak itu saja, pemulihan perekonomian juga berdampak pada kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari tren penurunan tingkat pengangguran terbuka. Tingkat kemiskinan dan misery index.
“Kondisi tersebut, berdampak pada kualitas hidup masyarakat Sulut. Itu terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia yang berada di urutan 7 dan Indeks Kebahagiaan di urutan ketiga se-Indonesia,” ujarnya sembari memprediksi pada tahun 2017 pertumbuhan
ekonomi Sulut berkisar 6,3%. Inflasi diperkirakan 3% (yoy) atau berada di batas bawah kisaran target 2017.
Pencapaian tersebut tidak terlepas dari sinergitas seluruh pemangku kepentingan melalui upaya yang terus dilakukan di 2017.
“Bank Indonesia telah melakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Bahkan dari sisi pengendalian inflasi, Bank Indonesia menginisiasi “Gerakan Barito – Batanang Rica dan Tomat” sebagai upaya meredam gejolak harga komoditas bawang, rica dan tomat yang sering menjadi pemicu inflasi, bersama-sama Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Antara lain dengan memberika sekitar 60 ribu bibit rica dan tomat telah dibagikan kepada Kelompok PKK di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” sebutnya.
Sementara itu, dijelaskan Soekowardojo, dari sisi sektor riil, BI juga memberikan perhatian khusus kepada pengembangan UMKM. “Di sepanjang 2017, kami mendorong pengembangan 7 klaster UMKM yang tersebar di Sulut, salah satunya klaster pertanian terintegrasi sapi ternak dan padi sawah di Bolaang Mongondow Utara,” tandasnya.
Kiprah BI, terutama dalam pembinaan UMKM di Sulut, kata Soekowardojo mendapat apresiasi dari International Council of Small Businesses Presidential Award untuk Pengembangan UMKM di daerah dengan kategori Policy Maker.
Lebih jauh Soekowardojo berharap capaian dan upaya yang telah dilakukan tersebut perlu ditingkatkan lagi untuk bisa memenuhi target atau sasaran kinerja Sulut, jangka
menengah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Sulut, di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 7,23%, tingkat kemiskinan sebesar 7,5%, pendapatan per kapita sebesar Rp45 juta/tahun, dan berbagai target lainnya.
“Tantangan yang harus kita hadapi ke depan, adalah struktur ekspor Sulut yang masih terpaku pada komoditas sumber daya alam seperti kelapa, ikan, rempah-rempah dan olahannya. Sebab, komoditas ekspor utama terkonsentrasi pada olahan kelapa yang mencapai 65% dari total ekspor,” ujarnya.
Tantangan lainnya yaitu pengolahan hulu pertanian yang masih belum berjalan dengan baik, diikuti dengan stagnansi produksi komoditas pertanian yang berdampak pada terjadinya deindustrialisasi. Di sisi infrastruktur, masalah pembebasan lahan sering menghambat pembangunan proyek
Menariknya, di forum yang dihadiri seluruh pimpinan perbankan, dan pemangku kepentingan lainnya, Wakil Gubernur Sulut, Drs Steven OE Kandouw mengatakan banyak hal tentang capaian dan tantangan yang dihadapi pemerintah. Antara lain, pertumbuhan dan perkembangan pariwisata hingga yang berpengaruh pada PDRB dan kendala pembebasan lahan dan realisasi anggaran belanja.
Menurutnya, persoalan realisasi anggaran ini sangat penting. Sebab sudah menjadi kebiasaan pemerintah tak mengacu pada perencanaan yang matang. Sehingga tak heran ketika dapat kucuran dana, tidak dimanfaatkan. Atau diistilahkan tiba saat tiba akal.
“Saat ini masih ada dana Rp2 triliun yang harus kita realisasikan. Jika tidak, ini akan menjadi penilaian pusat yang akan mengurangi nominal di tahun selanjutnya,” tegas Kandouw.
Masalah regulasi yang masih tidak sinkron, kata Kandouw juga berdampak pada realisasi pembangunan. Tak heran jika berkaitan dengan hal ini pemerintah menjadi prudent atau super hati-hati. “Kalau perbankan bersikap prudent untuk soal financial. Demikian juga dengan pemerintah yang bersikap lebih hati-hati. Penyebabnya karena regulasi dan kebijakan. Mata rantai perizinan yang berbelit-belit harus dipotong. Ini bisa menghambat masuknya investor ,” tukasnya.
Pemprov sendiri, sambung Kandouw, terus concern pada perkembangan aktivitas ekspor-impor yang hanya sejumlah produk, untuk terus ditingkatkan.(hilda)