DPR dan Pemerintah Harus Kompak Bahas RUU

Jakarta, SULUTREVIEW

Penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) bukan saja menjadi tanggungjawab DPR RI, tapi juga pemerintah.

Karena kewenangan itu bersifat fifty-fifty (50:50), yang 50 persen ada di DPR dan 50 persen di pemerintah. Sehingga kedua lembaga ini harus kompak dalam membahas RUU.

“Kalau sama-sama bertanggungjawab, maka RUU yang dihasilkan akan lebih baik. Sebaliknya, jika tidak kompak, bukan saja secara kualitas, namun secara kuantitas pun tak akan tercapai dari Prolegnas yang ditargetkan,” kata  Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Atgas dalam Forum Legislasi ‘4 RUU Rampung Sesuai Target?’ bersama anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Riview, Ujang Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (5/3/2019).

Politisi Partai Gerinda itu menambahkan dengan anggaran yang besar harusnya pembahasan sebuah RUU  lebih serius hingga selesai. Sebab, selain anggarannya besar, RUU yang tidak selesai pada periode ini 2019 ini, tak bisa diambil-alih, take over atau dilanjutkan oleh DPR periode mendatang.

“Anggarannya pun baru. Sehingga, kalau sebuah RUU itu tak selesai selama dua periode DPR RI (2014 – 2019), maka dua kali lipat anggaran yang harus dikeluarkan negara. Seperti RUU ASN (aparatur sipil negara) yang hanya tinggal dua pasal misalnya, tapi Mempan RI dan Menkumham RI selalu berhalangan hadir, ya sulit selesai,” kata Supratman.

Karena itu dia berharap para pembantu presiden itu sungguh-sungguh untuk menuntaskan RUU ASN tersebut. “Kalau tidak, maka yang akan rugi adalah kita semua,” ungkapnya.

Menurut Hendrawan target RUU yang disampaikan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo di paripurna DPR pada Senin (4/3/2019) lalu itu terlalu berani dan memiliki resiko yang besar.

Mengapa? Karena pembahasan RUU ASN, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertambakauan, RUU Perkoperasian dan lain-lain juga tergantung pada koordinasi dengan pemerintah. “RUU Pertembakauan dan RUU Perkoperasian oleh Komisi 11 DPR misalnya, tapi menteri perdagangan tidak pernah hadir, bagaimana?” kata Supratikno.

Selain itu kata dia, meski kewenangan itu ada di DPR, namun tidak semua anggota memiliki kompetensi yang sama. Sehingga sebuah RUU itu sulit deselesaikan dengan cepat. “Jadi, bagi DPR sendiri orientasi sebuah UU itu bukan saja kuantitas, tapi juga kualitas,” kuncinya.(rizal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.