Jakarta, SULUTREVIEW – Komisi VIII DPR RI mendorong Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefudin mencabut daftar nama 200 nama mubaliq yang sudah terekspos di Publik.
“Hampir semua anggota Komisi dalam rapat mendesak menteri agama mencabut list itu karena menciptakan suasana tidak kondusif dan sudah ada korban ustad yang dicoret dari agenda ceramah karena namanya tidak ada dalam 200 Mubaliq,” kata Anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak pada Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Dibalik Rekomendasi 200 Mubaiiq??’ di Gedung DPR, Kamis (24/5/18).
Tak itu saja, akibat ekspos nama Mubaliq tersebut, malah ada seorang ustad membeberkan kontraknya untuk ceramah di 7 BUMN dicoret dibatalkan karena namanya tidak masuk dari 200 mubaliq yang dikeluarkan Kementerian Agama.
Selain itu dibandingkan dengan jumlah masjid dan musholla 5.000 lain lagi musholla di departemen untuk keperluan Mubaliq seluruh Indonesia sangat kecil jika hanya 200 orang. Jadi, jalan terbaik hentikan dan cabut list itu, tegasnya.
Diingatkannya, dalam tahun politik soal list ini sangat mudah digoreng pihak lain untuk dijadikan isu pemercik panas lagi, sambungnya.
Jika pun ada upaya untuk mendata Mubaliq tidak harus mengeluarkan list nama cukup pedoman saja. Itupun harus melibatkan ormas Islam termasuk MUI, sambungnya.
Sedangkan Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menegaskan kenapa jadi polemik dan agak gaduh soal rilis 200 mubalig ini. Pertama dia melihat soal mubalig dan kiyai itu tidak pernah mempunyai tradisi seperti negara lain seperti Malaysia yang terlembaga. Sehingga mubalig kita tumbuh secara alami dan natural, dan sebutan itu diberikan terhadap masyarkat kepada orang secara individu saleh secara agama Islam, dan menyampaikan kebaikan.
“Jadi ketika ada rilis 200 mubalig, wajar gaduh karena dari dulu sebutan ustad, kyai, mubalig, itu tidak pernah lahir dari negara,” tukasnya seraya menambahkan sebutan itu secara alamiah lahir dari masyarakat.
“Orang yang memiliki pesantren, masjid, surau, mereka adalah mubalig bagi mereka yang tinggal di sekitar mereka. nah inilah anasir ini harus dibaca bahwa tradisi islam kita berbeda dengan tetangga sebelah seperti Malaysia. Kedua, soal kriteria mungkin kita perlu prasangka baik dengan menteri agama, mungkin ditengah kegaduhan bangsa kita yang selalu disebut terbelah karena konflik pilpres 2014 gak selesai, akibat pilkada 2017 gak selesai, dan isu-isu keagaaman yang sensitif, saya kira memang penting mubalig, ustad atau kiyai itu memberikan suatu kriteria apapun parameternya untuk dijadikan menjadi narasumber,” ujarnya.
Secara substansi yang disampaikan Menag bahwa mubalig itu harus mempunyai kapasitas kompentensi keagamaan, ini penting. artinya kualifikasi keilmuan dan intelektualnya bisa ditreker secara sistematis. Ini penting sebenarnya untuk menjawab keraguan, bahwa sekarang banyak orang belajar agama dari youtube, dari film, facebook, dan kemudian mengaksentuasi keagamaan ini dianggap satu kebenaran yang tidak bisa ditafsirkan oleh mubalig lain.
“Ini disebut fenomena belajar agama tanpa masjid. ini sebagai kabar buruk mungkin kelimpahan sumber informasi kita yang tak terbendung terutama di media sosial,” katanya. Yang pasti, orang yang disebut mubalig, kiyai, ustad, mereka yang hafalan haditsnya bagus, sanadnya sistematis, riwayat keislamannya cukup bisa ditreking dengan baik.(rizal)