Manado, Sulutreview.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 sebagai upaya mendorong industri jasa keuangan khususnya perbankan agar lebih efisien, berdaya saing, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.
Tiga poin POJK tersebut, yakni POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No. 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, dan POJK No. 14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No. 34/POJK.03/2018 tentang penilaian kembali pihak utama lembaga jasa keuangan.
Untuk POJK Nomor 12 /2020 mengharuskan BPD memenuhi modal inti bank minimal Rp3 Triliun.
Pengamat ekonomi Sulut Gerdy Worang, menilai peraturan tentang minimum modal inti adalah produk pimpinan OJK yang lama.
‘’Saat itu walaupun ekonomi dunia sedang menghadapi pandemi Covid 19, tetapi dampak di tahun ke depan belum terlihat. Pada akhirnya pandemi ini akan mengakibatkan ekonomi di seluruh dunia terpuruk. Pimpinan OJK saat itu juga tidak memperkirakan dampak potensi resesi, depresi dan inflasi tinggi akibat perang Ukraina-Rusia,’’ jelasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsrat ini juga menyarankan untuk meninjau kembali aturan ini.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) seluruh Indonesia termasuk Bank SulutGo (BSG) katanya, berdasarkan UU BPD sebagai tulang punggung ekonomi di daerah mempunyai kewajiban untuk memajukan ekonomi di daerah masing-masing melalui fungsi intermediasi bank yaitu menyalurkan kredit.
‘’Jadi jika POJK 12/2020 ini dilaksanakan maka peran BSG terhadap perekonomian daerah akan berkurang,’’ terangnya.
Worang juga memberikan contoh, bahwa tidak dapat dipungkiri kalau BSG banyak memberikan bantuan sosial baik untuk kegiatan pemerintah dan organisasi masyarakat. Bencana banjir, tanah longsor, rumah ibadah, termasuk kegiatan di gereja dan masjid.
“Coba kita liat dengan kasat mata saja apakah melihat bank swasta, swasta asing kelihatan umbul-umbul, baliho atau sponsorship? malahan bank plat merah pun seperti BRI BNI, Mandiri relatively lebih sedikit memberikan bantuan di daerah dibandingkan dengan BPD seperti BSG. Kenapa? karena pemilik BPD adalah gubernur, bupati dan walikota. Kepala Daerah ini akan lebih mudah berkomunikasi dengan dewan direksi yang mereka angkat di RUPS) untuk issue ekonomi, UMKM, bukan cuma bansos,’’ jelasnya.
Jadi kata Worang, hendaknya POJK nomor 12 ini harus dikaji lagi. Jadi, bayangkan saja jika kepemilikan itu berpindah ke swasta atau swasta asing.
‘’Selain tidak ada komunikasi lagi kepala daerah dan dewan bantuan langsung pun tidak ada. Karena bank swasta/asing adalah “profit oriented”. Ketimbang BPD yang pemiliknya kepala daerah yang sudah pasti memikirkan rakyatnya ketimbang profit semata,’’ terangnya.
Lanjutnya, tahun 2023/24 adalah tahun politik. Dimana setiap kepala daerah pastinya akan disibukkan dengan persiapan yang baik untuk kestabilan politik dan ketentraman di daerah. Jadi POJK 12/2020 ini waktunya tidak tepat.
‘’Selayaknya pimpinan OJK di pusat yang baru mengkaji lagi peraturan ini. Entah itu diundur atau dibatalkan karena tidak sesuai dengan “kearifan lokal” selain itu, timingnya juga tidak tepat,” pungkasnya.(srv)