Program Dedieselisasi PLN Jadi Kunci Net Zero Emission 2060

Menteri ESDM Arifin Tasrif saat menghadiri ETWG di Yogyakarta.(Foto: ist)

Yogyakarta, Sulutreview.com – PT PLN (Persero) melakukan program dedieselisasi atau konversi sekitar 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang beroperasi di wilayah terpencil.

PLTD ini akan dikonversi ke pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT), pembangkit gas dan integrasi dengan grid nasional.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menyebuy program dedieselisasi ini menjadi program kunci pada peta jalan yang telah disusun Kementerian ESDM untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam mencapai target Net Zero Emission 2060.

“Program dedieselisasi menjadi langkah kecil dari PLN, namun menjadi lompatan besar bagi pencapaian target pemerintah menuju NZE 2060,” ujar Arifin pada International Seminar: Renewable Energy Technology as Driver for Indonesia’s de-dieselization sebagai rangkaian pertemuan Energy Transition Working Group (ETWG), di Yogyakarta, Rabu (23/03/2022).

Dia mengapresiasi 3 skema yang disiapkan PLN melalui program dedieselisasi. Yakni skema integrasi sistem yang ditopang PLTD ke dalam sistem kelistrikan utama PLN.

“Saya punya mimpi, bagaimana Indonesia membangun transmisi yang menghubungkan setiap pulau, sehingga listrik dapat menjadi pemersatu bangsa dengan sumber EBT,” tukasnya.

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara, Pahala N. Mansyur menilai program dedieselisasi sangat penting demi mewujudkan visi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2045.

Untuk mencapai visi tersebut, Indonesia harus mampu meningkatkan suplai energi dengan tetap memenuhi target dekarbonisasi yang dicanangkan.

“Bagaimana kita harus tetap melanjutkan pertumbuhan secara berkelanjutan. Dedieselisasi akan menunjukkan bagaimana Indonesia mampu meningkatkan kapabiltas energi nasional secara berkelanjutan,” tutur Pahala.

Di sisi lain, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebutkan di tengah kenaikan harga minyak dunia, transisi energi dari energi berbasis impor ke energi domestik menjadi langkah strategis yang harus segera dilakukan.

Program ini dapat menghemat devisa negara. Bahkan menjadi langkah pertama dari PLN dalam mengonversi sekitar 5.200 PLTD yang masih beroperasi.

“PLN berkomitmen untuk melakukan transisi energi bersih di Tanah Air untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Selain itu, ini juga menjadi dukungan terhadap komitmen Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 untuk mewujudkan net zero emission pada 2060,” kata Darmawan.

PLN sedang membuka lelang pengerjaan mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai. PLN akan mengkonversi sampai dengan 250 megawatt (MW) PLTD yang tersebar di sejumlah lokasi di Indonesia.

PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS baseload, sehingga ada tambahan baterai agar pembangkit bisa nyala 24 jam. PLN mendorong para peserta bisa meningkatkan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.

“Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi,” ujar Darmawan.

Dengan konversi ke PLTS dan baterai, maka kapasitas terpasang di tahap pertama ini bisa mencapai sekitar 350 MW. Sehingga bisa mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.

Dalam tahap dua, PLN akan mengonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya, dengan sumber daya alam unggulan daerah tersebut dan keekonomian terbaik.

Proyek ini targetnya rampung pada 2026 mendatang.

“Program dedieselisasi menghemat 67 ribu kiloliter BBM dan pengurangan emisi yang mencapai 0,3 juta metrik ton CO2 serta meningkatkan 0,15 persen bauran energi,” terangnya.

Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit EBT bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.

Hal terlihat terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok USD 25 sen per kilowatthour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar USD 5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun di bawah USD 4 sen per kWh. Untuk baterai, harganya mencapai USD 13 sen per kWh dari sebelumnya USD 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.

“Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai,” tegas Darmawan.

Tak hanya konversi PLTD ke PLTS dan baterai, PLN juga telah bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk untuk melakukan konversi 33 PLTD menjadi berbasis gas, khususnya di wilayah terpencil.

“Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil,” ujar Darmawan.

Diketahui, bauran energi pembangkit gas direncanakan sebesar 18,76 persen dari 18,1 persen pada Februari 2022.

Penambahan ini, program dedieselisasi PLTD yang saat ini masih mendominasi di wilayah Nusa Tenggara sebesar 65 persen, Maluku dan Papua sebesar 85,9 persen.(srv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.