Manado, SULUTREVIEW – Pergerakan ekonomi Sulawesi Utara (Sulut) pada 2017 mengalami pertumbuhan sebesar 6,32% (yoy). Ini esuai dengan proyeksi yang digulir Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulut sebelumnya.
Dibandingkan tahun 2016 sebesar 6,17% (yoy), pertumbuhan tersebut meningkat atau relatif lebih tinggi dari nasional sebesar 5,07% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Sulut tahun 2017, ternyata disuport kinerja sektor utama Sulut yaitu pertanian, industri pengolahan dan konstruksi. Diikuti dua sektor utama lainnya, yakni perdagangan dan transportasi yang cenderung tumbuh melambat dibandingkan tahun 2016.
Dijelaskan Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Sulut, Soekowardojo, kinerja sektor pertanian, sudah termasuk perkebunan dan perikanan, juga ditopang kinerja tiga sub sektor utama yang tercatat positif. Sub sektor tanaman pangan (komoditas utama: beras/padi) dan sub sektor perikanan tumbuh meningkat, sementara sub sektor perkebunan tahunan (komoditas utama: kelapa, cengkih, dan pala) relatif stabil.
“Positifnya kinerja sub sektor tanaman pangan dan perkebunan tahunan didukung oleh kondisi cuaca pada tahun 2017 yang lebih baik dibanding tahun 2016 yang pada semester I terjadi El Nino,” katanya Senin (5/2/2018).
Selain itu, khusus untuk beras/padi, upaya pemerintah dalam pemberian bantuan saprodi dan pencetakan sawah turut mendorong peningkatan produksi. Di sub sektor perikanan khususnya komoditas ikan tangkap, juga mengalami peningkatan produksi seiring dengan membaiknya kegiatan penangkapan ikan pasca relaksasi aturan “transhipment”.
“Seiring dengan kinerja sektor pertanian yang positif, sektor industri pengolahan juga mengalami perbaikan kinerja yang positif. Industri pengolahan Sulut didominasi oleh industri makanan dan minuman dengan pangsa 85% dari total output sektor industri pengolahan,” bebernya.
Diketahui, dalam industri makanan dan minuman tersebut, produk utamanya yaitu produk olahan kelapa dan olahan ikan. Oleh karena itu, peningkatan produksi ikan tangkap dan kelapa serta rempah mendorong ketersediaan bahan baku pada industri pengolahan yang pada akhirnya mendorong peningkatan produksi. Peningkatan produksi industri pengolahan terkonfirmasi dari nilai ekspor ikan, rempah, serta olahannya yang tumbuh sebesar 8,21% (yoy) pada tahun 2017, lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 sebesar 3,05% (yoy).
Peningkatan sektor konstruksi seiring dengan pembangunan proyek-proyek swasta dan infrastruktur pemerintah. Pada tahun 2017, pembangunan proyek swasta yang relatif besar antara lain pembangunan 2 gedung mall/pusat perbelanjaan dan hiburan, hotel, perumahan, pabrik semen di Kabupaten Bolaang Mongondow dan adanya perluasan site baru salah satu tambang emas di Sulut,” jelasnya sembari menambahkan berlanjutnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, pembangkit listrik, dan beberapa infrastruktur lainnya turut mendorong peningkatan sektor konstruksi.
Adapun kinerja sektor perdagangan dan transportasi melambat. Perlambatan kinerja sektor perdagangan tercermin dari hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) – Bank Indonesia yang menunjukkan rata-rata Indeks Penjualan Riil (IPR) tahun 2017 sebesar 152,53 lebih rendah dibandingkan tahun 2016 sebesar 166,95. Perlambatan kinerja sektor transportasi terjadi di ketiga sub sektor utama yakni transportasi darat, transportasi udara dan transportasi laut. Kinerja transportasi darat yang melambat seiring dengan perlambatan yang terjadi pada konsumsi rumah tangga. Adapun perlambatan terdalam terjadi pada transportasi udara sebagai dampak base effect tingginya peningkatan jumlah wisman pada tahun 2016. Kinerja transportasi laut juga tercatat sedikit melambat.
Dari sisi pengeluaran, peningkatan perekonomian Sulut didorong oleh meningkatnya kinerja komponen konsumsi pemerintah dan investasi, sedangkan komponen konsumsi rumah tangga masih tumbuh kuat dan kinerja ekspor tumbuh positif meskipun relatif melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Konsumsi pemerintah meningkat seiring dengan semakin baiknya upaya percepatan realisasi anggaran belanja oleh pemerintah daerah. APBN khususnya dana transfer daerah tahun 2017 terealisasi sebesar 91,39%, yang merupakan realisasi tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di sisi investasi, peningkatan didorong oleh pembangunan proyek-proyek swasta dan infrastruktur pemerintah.
Berbeda dengan 2 komponen di atas, perlambatan terjadi pada konsumsi rumah tangga dan ekspor. Konsumsi rumah tangga pada tahun 2017 tertahan oleh adanya penyesuaian subsidi tarif tenaga listrik 900 VA pada semester I 2017 dan kenaikan biaya perpanjangan STNK.
Di sisi ekspor, Sulut masih mencatat kinerja yang positif tahun 2017, meskipun cenderung melambat dibandingkan tahun 2016. Ekspor Sulut baik barang maupun jasa tumbuh melambat. Ekspor barang Sulut tahun 2017 tercatat sebesar USD972,7 juta, menurun dibandingkan tahun 2016 sebesar USD1.019,92 juta. Ekspor jasa Sulut juga melambat yang dipengaruhi oleh faktor base effect pertumbuhan jumlah wisman tahun sebelumnya. Jumlah wisman tahun 2017 tercatat sebanyak 79.303 orang, naik 95,2% (yoy) dari tahun 2016 sebanyak 40.624 orang, yang naik 108,7% (yoy) dari tahun 2015 sebanyak 19.465 orang.
Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi semakin membaik. Dukungan harga komoditas yang masih tinggi dan perbaikan perekonomian dunia yang terus berlanjut akan berdampak positif bagi kinerja ekspor Sulawesi Utara. Ekspor jasa juga akan tumbuh meningkat sebagai dampak upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan jumlah kunjungan wisman. Sejalan dengan peningkatan ekspor, investasi juga diperkirakan terus meningkat didukung percepatan reformasi struktural untuk penciptaan iklim investasi yang semakin kondusif. Konsumsi juga akan meningkat seiring dengan naiknya UMP Sulut tahun 2018 dan anggaran belanja pemerintah yang meningkat tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, termasuk penyaluran dana desa yang mencapai Rp1 triliun. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Utara diperkirakan tumbuh sebesar 6,2% – 6,6% (yoy) pada tahun 2018.
Bank Indonesia terus mencermati berbagai perkembangan serta risiko eksternal dan domestik. Risiko eksternal berupa risiko terkait rencana pengetatan kebijakan moneter di negara ekonomi maju, risiko kenaikan harga minyak ditahun 2018 dampak kesepakatan dari negara-negara penghasil minyak untuk memangkas produksi dan ekspor, serta risiko geopolitik. Di sisi domestik, risiko berasal dari belum kuatnya konsumsi rumah tangga dan intermediasi perbankan. Khusus regional Sulut, risiko bersumber dari permasalahan di infrastruktur seperti pembebasan lahan dan potensi defisitnya pasokan listrik seiring dengan naiknya kebutuhan daya masyarakat. Risiko lainnya yaitu potensi terganggunya manajemen dan administrasi pemerintah daerah sebagai dampak Pilkada kabupaten/kota.
Mencermati hal tersebut, Bank Indonesia senantiasa memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk memastikan stabilitas harga yang terjaga melalui wadah TPID serta untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan melalui strategi pengembangan sumber pertumbuhan ekonomi yakni sektor pariwisata, sehingga dapat mencapai potential growth ekonomi Sulut sebesar 7%.(hilda)