DPR-RI Minta Kritik Konstruktif Masyarakat

Jakarta, SULUTREVIEW – Sebagai representasi rakyat, DPR-RI meminta kritik yang ditujukan bersifat konstruktif.

Mengingat selama ini, DPR sering medapat kritik masyarakat terkait kinerja di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.

“Hal itu adalah wajar, karena masyarakat khususnya LSM belum memahami tugas dan fungsi dewan yang sebenarnya. Tapi DPR minta kritik itu yang proporsional,” kata Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan dan Fahri Hamzah dalam diskusi ‘Refleksi 72 Tahun DPR RI’ di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (29/8).

Menurutnya seiring dengan kemajuan teknologi informasi saat ini maka membangun demokrasi yang maju membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung kemajuan itu sendiri. Namun, itu selalu dikaitkan dengan politik.

“DPR tak bisa menyalahkan masyarakat. Tapi, dalam 72 tahun DPR ini mari bersama-sama membangun DPR menuju kedewasaan demokrasi dengan kritikan konstruktif, ” ujar Waketum PAN itu.

Ke depan, mana yang menjadi isu politik, dan mana yang teknis yang bukan menjadi urusan DPR RI. Seperti halnya soal keuangan itu menjadi tanggungjawab kuasa pengguna anggaran, yaitu di pemerintah. Bukan DPR, ungkapnya. “Kuasa anggaran itu sepenuhnya ada di eksekutif. Bukan DPR,” tukasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah berkilah karena tradisi politik Indonesia bukan daulat rakyat, tapi daulat kerajaan. “Federasi, kesultanan, dan yang dipertuan agung seperti Malaysia. Dan, Indonesia tak mengambil sistem kesultanan itu, tapi demokrasi Pancasila,” ungkapnya.

Bahkan kata Fahri, Indonesia pernah mengambil demokrasi liberal, presidensialisme sehingga posisi rakyat lemah dan eksekutif lebih dominan. “Kalau mau blak-blakan, eksekutif itu absolut karena mereka ini mengendalikan uang negara secara 100 %,” sebutnya.

Namun demikian Fahri menyatakan kebanggaannya ketika di daerah DPR mendapat pujian masyarakat karena dana desa yang diperjuangkan melalui UU No. 6 tahun 2014 tentang dana desa sudah terealisir dan dinikmati masyarakat desa.

“Rakyat di desa mengelu-elukan DPR karena sukses memperjuangkan dana desa. Sebab, kalau tak ada UU Dana Desa, maka mereka tak bisa menikmati dana desa yang Rp 60 triliun itu,” kuncinya.(zal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *