Mengkhawatirkan, Perkawinan Anak di Sulut Tempati Peringkat 12 Nasional

Kampanye stop perkawinan anak dibarengi dengan deklarasi

MANADO, SULUTREVIEW

Indonesia dinyatakan masuk kategori kondisi ‘darurat perkawinan anak’. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perkawinan anak sudah pada taraf yang mengkhawatirkan. Praktis anak-anak kehilangan hak dan masa emasnya.

Data yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional disebutkan perkawinan anak telah mengalami peningkatan signifikan. Bahkan saat ini menempati posisi 25,71%.

Menariknya, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), termasuk 23 daerah yang masuk kategori yang tertinggi angka perkawinan anak.

Provinsi Sulut angka perkawinan anak terbilang sangat tinggi. Angkanya adalah 31,72%. Dengan demikian menduduki peringkat 12.

Data terbaru BPS pada tahun 2018,  Provinsi Sulut juga menduduki peringkat 9 dari 20 provinsi yang tertinggi angka perkawinan anak, yakni angkanya adalah 14,9%. Sementara angka nasional adalah 11,2%.

“Keadaan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi darurat perkawinan anak,” ungkap Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga dan Lingkungan Kementerian (P3A), Rohika Kurniadi di auditoroum Mapalus Kantor Gubernur Sulut, Rabu (14/8/2019).

“Mari kita bersama-sama melakukan perubahan-perubahan karena data Sulawesi Utara ini menjadi perhatian bagi Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) dan kita bersama,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut Rohika, melakukan sejumlah upaya yang dimulai tahun 2016. “Kami melakukan upaya di provinsi-provinsi yang tertinggi perkawinan anak untuk melakukan gerakan dan kampanye bersama ‘Stop Perkawinan Anak’. Karena dampak perkawinan anak ini sangat memprihatinkan,” jelasnya.

Dampak utama pada perkawinan anak, sebut Rohika adalah pendidikan. Karena anak akan mengalami drop out. Kedua, adalah kesehatan. Di mana anak yang harusnya tumbuh kembang anak mengalami risiko kematian ketika melahirkan. Demikian juga anak yang dilahirkan akan mengalami gizi buruk. Ketiga, dampak ekonomi, anak akan terpaksa bekerja. Keempat, berdampak secara sosial yang akan menyumbang kekerasan dalam rumah tangga. Karena anak masih anak, tetapi punya anak dalam usia anak.

“Ini sangat menyedihkan sekali. Untuk menyikapi hal ini, kita tidak bisa bekerja sendiri. Dan melalui pencanangan stop perkawinan anak, ada lima strategi yang dilakukan,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas P3A Provinsi Sulut, Ir Mieke Pangkong MSi menjelaskan
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak.

“Dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan adalah berusia 18 tahun namun pada kenyataan masih terjadi perkawinan anak-anak dibawah 18 tahun sudah melakukan pernikahan. Bahkan mengalami perceraian,” tukasnya.

Berdasarkan data BPS tahun 2017 menyebutkan bahwa jumlah penduduk anak di Provinsi Sulut sebanyak 825,126 jiwa yang terdiri dari 420 ribu anak perempuan dan 401-an laki-laki  berstatus perkawinan anak. Dengan jumlah anak perempuan berdasarkan data BPS ada sekitar 1,14% berstatus kawin.

Pada kampanye Stop Perkawinan Anak, dibarengi dengan petisi. Sebab, perkawinan anak merupakan sebuah bentuk praktik yang sangat potensial merugikan tumbuh kembang dan perlindungan anak.

“Setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas pengasuhan hak atas pendidikan hak atas kesehatan hak partisipasi dan perlindungan,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, bahkan perkawinan anak akan merintangi terwujudnya ketahanan keluarga dan ketahanan bangsa dan negara.

“Oleh karena itu kami bersepakat perkawinan anak harus dihentikan sekarang juga,” tegasnya.(eda)