Harga Barito di Sulut Meroket, Arbonas : Masih Batas Normal

Kepala Kantor Perwakilan BI Sulut, Arbonas Hutabarat

Manado, Sulutreview.com – Harga sejumlah komoditas, seperti bawang merah, rica atau cabai dan tomat (barito), dalam beberapa pekan terakhir di pasar tradisional di Sulawesi Utara (Sulut) meroket.

Hal ini tentu saja membuat masyarakat resah. Pasalnya, kenaikannya hampir menyentuh Rp100 ribu per kilogramnya.

Menyikapi hal tersebut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulut, Arbonas Hutabarat mengatakan, terjadinya kenaikan harga terhadap ketiga komoditas adalah natural.

“Itu terjadi secara natural, yang dipengaruhi oleh faktor musiman, meningkatnya permintaan menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), permasalahan yang tidak terduga (bencana) dan permasalahan lain yang terjadi pada masing-masing daerah,” ungkap Arbonas.

Dirinci Arbonas, perkembangan tiga komoditas Barito pada akhir-akhir ini, secara nasional juga mengalami peningkatan. Pada Mei hingga Juni 2022, rica mencapai harga tertinggi sejak 2020-2022 dengan rata-rata nasional Rp80.250, bawang merah secara nastonal mencapai harga Rp54.500.

“Namun apabila ditinjau sejak tahun 2020, kenaikan harga-harga tersebut khususnya cabai dan bawang merah pada dasarnya masih normal, meskipun pergerakan harga komoditas tersebut memang lebih tinggi sejak awal tahun 2022,” ungkap Arbonas.

Menurutnya, hal-hal yang menyebabkan meningkatnya volatilitas harga ketiga komoditas tersebut yang terjadi secara nasional antara lain, kenaikan harga pupuk

Secara umum, kenaikan harga tanaman pangan disebabkan oleh kenaikan harga pupuk yang telah terjadi sejak awal tahun 2021, dan terus memburuk sampai tahun 2022.

Kenaikan harga pupuk tersebut disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku global (Nitrogen, Fosfat, dan Kalium) dengan volume kebutuhan terbesar yaitu Kalium (KCV/potas), 40% dari kebutuhan potas diimpor dari Rusia dan Belarus yang tentunya terdampak konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

Selanjutnya, terhitung Juli 2022 pupuk subsidi dibatasi pada jenis urea dan NPK, dengan jenis komoditas yang bisa mendapatkan pupuk bersubsidi tersebut mengacu pada Perpres 59/2020 yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi rakyat dan kakao rakyat.

Kedua, fenomena cuaca (La Nina), fenomena La Nina saat ini masih terpantau menguat di semester kedua tahun 2022. La Nina adalah fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin atau mengalami curah hujan yang lebih tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan musim hujan di Indonesia selain angin muson.

“Tingginya curah hujan juga menjadi faktor yang menyebabkan gagal panen di sejumlah sentra produksi hortikultura,” ujar Arbonas.

Diketahui, pada Januari-Februari hasil pantauan indeks BMKG menunjukkan bahwa La Nina sudah berkurang intensitasnya menuju intensitas lemah (indeks sekitar -0.9 hingga 0.8). Namun pada bulan Maret April, indeks La Nina menguat kembali dan indeks berkisar -1.1 (intensitas sedang).

Di samping itu, fenomena La Nina yang menguat menjelang periode pergantian musim hujan ke musim kemarau tahun ini, berdampak pada mundurnya musim kemarau di Indonesia yang berpotensi menyebabkan bergesernya siklus tanam dan panen komoditas hortikultura.

Namun demikian, berdasarkan Data Statistk Pertanian Hortikultura (SPH), pada bulan April dan Mei 2022 terjadi peningkatan luas tanam pada berbagai sentra produksi bawang di Jawa maupun luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan harga bawang akan kembali normal pada Juni-Juli.

Sementara pada tanaman cabai rawit, selain masalah kenaikan harga pupuk, kenaikan harga cabai juga disebabkan turunnya produksi akibat musim hujan berlangsung lebih lama akibat fenomena La Nina yang masih terjadi hingga Mei yang menyebabkan banyaknya tanaman rusak. Selain itu, faktor hama juga ikut memperburuk masalah di berbagai sentra cabai rawit seperti Tuban dan Gorontalo.

Penyebab ketiga, adalah peningkatan permintaan menjelang Idul Adha. Dari sisi permintaan, kenaikan harga bawang merah, cabai rawit, dan tomat juga diperkicakan disebabkan oleh meningkatnya permintaan masyarakat menjelang Idul Adha pada bulan Juli 2022.

Kelima, permasalahan spasial di Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua). Harga bawang merah di Sulampua pada Jum 2022 tercatat paling tinggi secara nasional, dilanyutkan dengan Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Di Sulampua sendin, beberapa provinsi seperti Gorontalo, Sulut, Maluku, Sulteng, dan Sulse! mengalami peningkatan harga, sementata 5 provinsi lainnya cenderung stabil.

Kenaikan harga bawang merah di Sulut salah satunya juga disebabkan oleh meningkatnya harga bawang merah di sentra pemasok bawang merah Sulut seperti Enrekang, Sulsel dan Bima, NTB. Di samping itu, berdasarkan informasi dari pedagang di Sulut, pergerakan bawang merah di Sulut disebabkan oleh peningkatan harga di Kalimantan, sehingga daerah penghasil cenderung memilih untuk mengirimkan pasokan ke daerah tersebut yang menyebabkan pasokan di Manado berkurang.

Harga cabai rawit di Sulampua menunjukkan tren peningkatan sejalan dengan harga Nasional. Seluruh provinsi termasuk Gorontalo yang merupakan pemasok cabal rawit Sulut mencatatkan kenaikan harga pada Juni 2022.

Peningkatan harga cabai rawit di Sulut juga disebabkan oleh peningkatan harga di Jawa, Padang, dan Kalimantan Selatan, sehingga daerah penghasil cenderung memilih untuk mengirimkan pasokan ke daerah tersebut. Disamping itu, terdapat informasi bahwa adanya gagal panen di Gorontalo akibat hama, dan beberapa petani baru memasuki masa tanam,

Sama halnya dengan tomat, adanya gagal panen akibat curah hujan tinggi, tingginya harga saprodi termasuk pupuk, serta tingginya permintaan ke luar daerah seperti Ternate dan Papua Barat menyebabkan pasokan di Sulawesi Utara cenderung berkurang.

Keenam, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota akan senantiasa melakukan pemantauan rutin terhadap harga dan pasokan, dengan tetap mempertimbangkan fenomena yang terjadi secara nasional.(srv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.